Pastinya
sudah tak asing dengan kalimat ‘mohon maaf lahir dan batin’ yang mulai
gencar tersuarakan ketika mendekati hari raya iedul fitri. Biasanya
orang akan membeli kartu-kartu dengan ucapan serupa yang kemudian
dikirimkan ke teman-teman atau saudara jauh. Ah itu dulu, sekarang sudah
lebih modern. Kita tinggal memajang foto dan membubuhkan tulisan kata
‘maaf lahir batin’ di dalamnya, upload ke facebook, lalu tag-kan ke
teman-teman, beres deh. Atau lebih simpel lagi, kita tinggal mengetik
kata-kata yang dirangkai sedemikian rupa lewat sms, tambahkan kontak
teman dan saudara, dan kirim, selesai.
Begitulah
fenomena saling bermaafan di hari lebaran. Namun apakah maaf yang kita
ujarkan benar-benar tulus atau hanya agar tradisi dan budayanya saja
berjalan mulus?
Mengapapa Harus Bermaafan?
Manusia
adalah tempatnya salah dan lupa. Siapapun pasti mengakuinya. Sesuci
apapun manusia, tetaplah kesalahan setidaknya sempat singgah dalam
dirinya. Namun tidak lantas mendengar alasan tadi kita bisa seenaknya
berbuat salah atau malah berpura-pura lupa. Manusia dikaruniai dua sifat
itu tentu agar kita tidak merasa sombong. Dan sifat sombong, akan
tampak atau justru binasa tatkala kita tengah berada dalam posisi
bersalah yang menuntut kita untuk meminta maaf, atau bahkan memaafkan.
Kedua
sikap ini (meminta maaf dan memaafkan) merupakan salah satu sikap
terpuji yang sangat sulit kita lakukan. Lho, bukannya gampang ya minta
maaf? Tinggal bilang “mafin aku ya” apalagi memaafkan, tinggal bilang
“ya”, lalu apa sulitnya? Secara teori memang terlihat sangat gampang,
tapi coba saja praktekan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Sulitnya
minta ampun. Sms gak dibales aja marah-marah sampai menyumpahi tidak
akan pernah termaafkan seumur hidup! Gak kebayang deh bagaimana jadinya
jika yang bersalah tiba-tiba meminta maaf, wah mesti ngumpulin berapa
ribu energi dulu, itu. Mending kalau dimaafin, nah kalau nggak? Ya nggak
apa-apa sih, yang penting kita sudah dengan tulus meminta maaf, adapun
hasilnya, itu sudah bukan urusan kita lagi. Meskipun secara adab bergaul
tetap perlu kontinuitas dalam mengembalikan ukhuwah persaudaraan.
Maklum lah, namanya juga manusia, perlu proses untuk memaafkan.
Maka
dari itu, saling bermaafan pada kenyataannya memang satu sikap yang
benar-benar memerlukan kejernihan akal, keihklasan hati dan kelapangan
dada yang super dahsyat. Bagaimana tidak, disamping berat menahan
gengsi, bahkan adalagi yang menganggap barangsiapa yang meminta maaf
terlebih dahulu, berarti dia kalah. Wah, nggak benar itu. Sama sekali
tidak benar. Justru yang pertama kali meminta maaf, dialah orang yang
mulia derajatnya.
Ada beberapa faktor mengapa kita harus saling bermaafan;
Pertama,
karena jika kita ingin diampuni Allah dari segala dosa, kita harus
terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan kita dengan sesama mahluk.
Karena tentu kita mengenal istilah hablu minallah hablu minannas. Hubungan baik dengan Allah maupun dengan manusia, keduanya haruslah seimbang.
Dari Ibnu Abbas rodhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Alloh mengampuni beberapa perilaku umatku, yakni (karena) keliru, lupa dan terpaksa." (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Baihaqi, dan lain-lain)
Alloh memaafkan kesalahan hamba-Nya akibat tersalah (keliru atau tidak sengaja), lupa atau dipaksa.
Nah, maka terkait hubungan mu’amalah, jika kita membuat suatu kerugian
terhadap pihak lain, kita tetap harus mempertanggungjawabkannya.
Kedua, sesama muslim tidak boleh saling bermusuhan atau bertengar lebih dari tiga hari.
Rasulullah saw. bersabda:
Janganlah kamu saling membenci, saling mendengki dan saling bermusuhan,
tetapi jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal
seorang muslim mendiamkan (tidak menyapa) saudaranya lebih dari tiga
hari. (Shahih Muslim)
Bayangkan
saja, jika tidak ada yang maju terlebih dahulu untuk meminta maaf,
mungkin selamanya tidak akan pernah akur. Begitupun yang memaafkan,
keikhlasan adalah modal utama untuk melakukannya.
Maka,
jika kita ingin dosa kita diampuni Allah, dan ingin taat kepada Rosul,
bermaafanlah. Karena dengan bermaafan, dosa kita akan melebur.
Bermaafan bukanlah Tren!
Ketika
menyambut hari raya, suasana damai dan khidmat seakan mewarnai hari
yang fitri ini. Satu sama lain saling berjabat tangan, dan saling
bermaafan. Bahkan sebagian sampai menitikan air mata. Setidaknya
begitulah nuansa hari raya yang terekam dibenak kita. Dengan kata khas
‘mohon maaf lahir dan batin’ tentunya.
Hal
ini pula yang kemudian menjamur dikalangan anak muda. Dengan ikut serta
merayakan hari raya iedul fitri, merekapun tak ingin ketinggalan saling
bermaafan. Jelas ini merupakan fenomena yang sangat bagus. Tapi coba
tengok. Berapa orang yang kemudian setres gara-gara saling bermaafan!
Nah lho! Jangan salahkan sikap saling bermaafannya, tapi lihat dulu
bagaimana cara mereka meminta maaf.
Dirumah,
HP dibiarkannya saja tergeletak diatas meja. Selang beberapa detik, ada
sms masuk, beberapa detik lagi, sms masuk, dan begitu seterusnya sampai
esok paginya menjelang. Bagaimana tidak stress si pemilik HP, yang
akhirnya HP pun dimatikan saja.
Dengan
begitu canggihnya teknologi terkini, ternyata tidak sepenuhnya mampu
memudahkan aktifitas manusia. Mengetik sms dengan kata-kata indah
bertemakan hari raya dan saling bermaafan, seakan hanya menjadi tren saja. Rasanya tidak afdol bila tidak ikut mengetik sms serupa. Atau bahkan, yang semula terbiasa silaturahmi face to face,
karena kini ada HP, akhirnya kata ‘maaf’ hanya cukup di sms saja. Tentu
ini merupakan kesenjangan dalam penggunaan teknologi. Kita tidak tahu
apakah kata maaf yang melayang kesana kemari itu benar-benar tulus atau
hanya ikut tren sms saja. Hal ini bisa dibuktikan. Ketika hari
raya sudah berlalu, HP pun kembali sunyi, tak ada lagi kata maaf yang
berseliweran. Inilah yang disayangkan, bermaafan yang menjadi tren. Tentu ini terbalik, yang sebenarnya adalah, kita harus men-tren-kan bermaafan. [muhim]